Kamis, 29 Juli 2010

Berdamai Dengan Pengawet Makanan

Mau tidak mau, suka atau tidak suka, kita hidup dikelilingi produk pangan berpengawet. Tetapi, benarkah bahan pengawet dalam produk pangan selalu berbahaya? Lantas, bagaimana cara bijak mengonsumsi produk pangan berpengawet?

Belakangan ini, banyak produsen makanan dan minuman (bahan pangan) yang mengiklankan produknya bebas pengawet, atau tanpa zat pengawet. Ada juga yang menyebut produk pangannya tanpa pewarna dan pemanis buatan, serta tanpa zat-zat kimia lainnya.

Sebenarnya, apakah semua makanan atau minuman yang mengandung pengawet atau zat kimia itu berbahaya bagi kesehatan? Menurut Prof. Dr. Ir. Deddy Muchtadi dari Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, bahan pengawet atau proses pengawetan kadangkala diperlukan untuk menjaga bahan pangan tidak rusak dalam jangka waktu tertentu.

Perlu diketahui, bahan pangan tertentu sangat mudah rusak atau busuk. Contohnya daging, ayam, ikan, susu, telur, sayuran, buah-buahan, dan lain-lain. Ada juga bahan pangan yang agak mudah rusak, seperti kacang-kacangan. Deddy menyebutkan, kerusakan bahan pangan diantaranya bisa disebabkan oleh jenis mikroba seperti kapang dan bakteri.

Selain dapat minimbulkan kerugian secara ekonomis akibat busuknya bahan pangan, mikroba juga dapat menyebabkan sakit, infeksi atau keracunan. "Itulah gunanya pengawetan. Tujuannya untuk mencegah, menghambat, atau memperlambat terjadinya kerusakan atau kebusukan bahan pangan," jelas Deddy.

BERAGAM TEKNIK
Pengawetan, menurut Deddy, selain dapat memperpanjang daya tahan simpan, juga dapat mempertahankan mutu bahan pangan. "Selain itu juga bisa mempertahankan nilai gizi, memperluas pemasaran, meningkatkan ketersediaan produk pangan, dan meningkatkan keamanan pangan."

Metode pengawetan bisa bermacam-macam. Ada yang menggunakan suhu tinggi seperti pasteurisasi dan sterilisasi, atau suhu rendah seperti penyimpanan dingin, pembekuan, dan penyimpanan beku. Bisa juga melalui pengeringan seperti penjemuran dan oven drying.

Pengeringan ini biasanya dilakukan pada ikan asin. Metode canggih juga bisa digunakan dengan irradiasi (penggunaan sinar gamma), penggunaan ozone, dan sinar UV yang digunakan untuk sterilisasi air minum.

Satu lagi cara pengawetan yang sebenarnya cukup populer, namun paling dikhawatirkan banyak orang, adalah penambahan bahan pengawet (food preservatives). Kekhawatiran sebagian masyarakat itulah yang menyebabkan banyak produsen yang mengiklankan produknya "bebas bahan pengawet".

Bahan pengawet merupakan salah satu jenis Bahan Tambahan Pangan (BTP), yang sering juga disebut bahan tambahan kimiawi, atau zat aditif pangan. "Kata 'bahan kimia' memang bagi kalangan awam terkesan menakutkan. Kenyataannya, semua bahan pangan yang kita konsumsi sebenarnya mengandung senyawa kimia. Misalnya, garam dapur yang merupakan senyawa natrium klorida, cuka disebut juga asam asetat, bumbu masak yang sering disebut MSG, dan masih banyak lagi," ungkap Deddy.

Badan organisasi pangan dan kesehatan dunia, FAO dan WHO, telah menetapkan definisi BTP (food additive) sebagai bahan-bahan yang ditambahkan dengan sengaja ke dalam makanan dalam jumlah sedikit, untuk memperbaiki warna, bentuk, cita rasa, tekstur, atau memperpanjang masa simpannya.

Penggunaan BTP diatur dengan berbagai peraturan. Di Indonesia ada peraturan yang dikeluarkan oleh Depkes, serta Undang-undang Pangan no. 7 tahun 1996. Pada skala internasional, pengaturan BTP terdapat dalam Food Chemical Codex yang dikeluarkan FAO dan peraturan yang dikeluarkan oleh WHO, serta peraturan di negara adidaya seperti yang dikeluarkan oleh Amerika Serikat dan negara-negara Uni Eropa.

Beberapa jenis bahan pengawet yang telah diteliti dan dianalisa oleh berbagai badan kesehatan di dunia dan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) di Indonesia, ditetapkan aman untuk dikonsumsi. Bahkan Deddy memberi contoh, NaCl (garam dapur) dapat dikonsumsi tanpa batas maksimal. "Berapa banyak pun kita mau mengonsumsinya, boleh saja."

Jenis-jenis bahan pengawet yang sering digunakan dan aman dikonsumsi dalam batas tertentu, menurut Deddy, antara lain jenis asam dan garam benzoat, sorbat, dan propionat, belerang dioksida dan sulfit, nitrit dan nitrat, natrium klorida, gula, asam, nisin, natamycin, subtilin, serta antioksidan BHA dan BHT.

Benzoat biasa digunakan untuk mengawetkan minuman ringan dan kecap, serta sari buah, saus tomat, saus sambal, selai dan jeli, manisan, agar, dan makanan lain. Propionat merupakan bahan pengawet untuk roti dan keju olahan. Sorbat biasanya digunakan untuk mengawetkan margarin, pekatan sari buah, dan keju.

Sulfit merupakan bahan pengawet untuk potongan kentang goreng, udang beku, dan pekatan sari nenas. Sedangkan nitrit dapat digunakan sebagai pengawet daging olahan seperti sosis, korned dalam kaleng, atau keju.

Benzoat secara khusus digunakan untuk menghambat pertumbuhan kapang (fungi). Tubuh manusia memiliki sistem detoksifikasi (penghilangan) benzoat yang sangat efektif. Benzoat akan terbuang hingga 95 persen lewat urine. "Jika masih ada yang tertinggal, benzoat akan bergabung dengan asam gluluronat yang termetabolisme lewat urine," jelas Deddy.

Baik benzoat maupun sorbat sebenarnya terdapat secara alami pada buah-buahan dan rempah. Cengkeh, kayu manis dan buah berry mengandung benzoat, sedangkan sorbat bisa ditemukan secara alami pada buah berry.

Agar aman dikonsumsi, penggunaan pengawet haruslah mempertimbangkan beberapa hal, diantaranya jenis bahan pengawet yang digunakan, kondisi penggunaannya, tujuan penggunaan, jumlah dan ketepatan spesifikasinya, serta siapa dan bagaimana konsumennya. "Yang jelas, bahan pangan tanpa pengawet belum tentu lebih aman daripada yang ditambahkan bahan pengawet," tandas Deddy.

DIAWASI KETAT
Senada dengan Deddy Muchtadi, menurut Prof. Dr. Dedi Fardiaz, Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya, Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) Indonesia, tidak semua bahan pengawet yang ada dalam bahan pangan itu berbahaya.

Dedi menjelaskan, selain pengawet, ada beberapa BTP lainnya yang diperlukan dalam pangan, antara lain pewarna, pemanis, penyedap rasa dan aroma, pemutih, dan pengental.

"Dengan berbagai analisa dan penelitian dari pakar dan lembaga ilmiah, maka telah ditetapkan jumlah BTP, yang jika dikonsumsi setiap hari seumur hidup, tidak akan memberikan risiko bagi kesehatan (zero risk). Selain itu juga telah ditetapkan batas maksimum penggunaan pengawet yang diizinkan untuk digunakan pada produk pangan," terang Dedi.

Khusus mengenai penyedap makanan, mantan Direktur Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan (POM), Drs. Sunarto Prawirosujanto, saat berkunjung ke redaksi NOVA beberapa waktu lalu menegaskan keamanan MSG.

"Tudingan MSG sebagai penyebab berbagai keluhan kesehatan, seperti alergi, asma, bahkan kanker, merupakan kesalahan persepsi. Merujuk kepada FDA (Food and Drug Administration, BPOM-nya Amerika Serikat), MSG/vetsin masuk dalam daftar GRAS (Generally Recognized as Safe) yang berarti pengakuan kemanan MSG dan dimasukkan satu kelompok dengan garam dan gula."

YANG DILARANG
Tentu saja, ada bahan tambahan yang dilarang dipakai untuk pangan. Bahan kimia yang dikategorikan sebagai bahan berbahaya dalam pangan, yaitu asam borat, asam salisilat, dietilpirokarbonat, dulsin, kalium khlorat, kloramfenikol, minyak nabati yang dibrominasi, nitrofurazon, dan formalin.

"Memang masih banyak produsen yang menggunakan bahan berbahaya ini. Bisa jadi karena tidak tahu bahwa itu berbahaya, namun bisa juga karena tidak peduli. Sekarang ada peraturan, boraks atau formalin hanya boleh dijual di distribusi resmi dengan kemasan yang terkecil," ungkap Dedi.

Mengawasi produk pangan agar aman dikonsumsi oleh konsumen dan mengandung bahan-bahan yang diizinkan, memang bukan perkara mudah. Terutama untuk makanan siap santap yang dijual di pinggir jalan, seperti jajanan anak sekolah.

Untuk makanan yang dikemas dan didistribusikan di pasaran, Dedi mengaku BPOM telah melakukan pengawasan melalui pre-market evaluation pada saat pendaftaran produk pangan di BPOM, atau melakukan post-market evaluation dengan mengambil sampel produk pangan di sarana distribusi.

"Untuk jajanan di pinggir jalan memang agak susah. Tapi nanti kita akan mengusahakan bagaimana caranya agar jajanan anak sekolah itu diseleksi dan diawasi, mana yang mengandung zat berbahaya dan mana yang aman untuk dikonsumsi," janji Dedi.

(Sumber : Nova)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar